Waktu Luang

Date:

Sore itu, 2 November 1990, langit di atas Bendungan Karang Kates sangat cerah. Di ufuk Barat, sinar Surya sudah tidak lagi menyengat. Cahaya jingganya menyebar, mewarnai pepohonan, tebing dan air. Sungguh lukisan alam yang sangat indah.

Angin semilir menyaput wajah-wajah di pinggir bendungan. Siapapun yang terkena hembusannya nampak tak kuasa menahan daya nikmatnya. Mereka seperti terhipnotis masal oleh rekayasa alam.

Di antara wajah-wajah itu, seorang kakek sedang leyeh-leyeh di bawah rindangnya Pohon Akasia. Ia menikmati sekali waktu yang ada setelah mancing. Suasana tenang dan damai. Ikan sekepis dan dua palesan tergeletak di sampingnya.

Kakek ini mencari ikan untuk lauk keluarga. Tidak setiap hari dia pergi memancing. Hanya pas ingin saja. Ikan sekepis sudah cukup baginya untuk lauk makan malam bersama keluarga.

Bejo dan Kakeknya

Lima meter dari kakek, Bejo bermain pasir. Dia berlari-lari ngalor ngidul tanpa celana. Celananya basah setelah ia kecemplung sungai kecil di pinggir bendungan.

Anak sembilan tahun itu asik sekali menikmati dunianya. Dunia kanak-kanak yang mungkin tidak bisa dia ulangi lagi. Dunia yang sangat indah dimana tawa dan tangis bisa hadir bergantian bahkan terkadang bersamaan.

Bejo memang belum nalar. Ia belum mengerti apa itu baik buruk pun benar salah. Kata pak ustad, Bejo belum akil baligh.

Meskipun demikian, di usia sebelia itu, ingatan Bejo sangat tajam. Beberapa kejadian yang ia alami di usianya ini, puluhan tahun kemudian masih bisa ia ingat dengan detail dan jelas.

Sore itu, antara Bejo dan kakek dalam skala berbeda memiliki esensi yang sama. Mereka sama-sama menikmati waktu. Kakek menikmati waktunya dengan leyeh-leyeh seusai mancing. Sedangkan Bejo menikmati waktunya dengan bermain pasir tanpa kolor.

“Hawanya enak banget ya Kek,” kata Budi tiba-tiba memecah suasana. “Betul nak,” kata kakek.

Budi seorang musafir. Dia tinggal di ibu kota. Selesai tamat pendidikan menengah atas, nasib membawanya ke kota metropolitan itu.

Di ibu kota, Budi memiliki kesempatan untuk melanjutkan sekolahnya. Terakhir, ia menyelesaikan S2 nya di bidang manajemen.

Budi ingin pergi ke Blitar.  Sebuah kota kecil, tempat ia dilahirkan. Sore itu, kebetulan ia lewat dan mampir untuk menikmati indahnya Bendungan Karang Kates.

Karang Kates memang  tersohor. Selain keindahan alamnya, bendungan besar ini juga terkenal akan teknik bendungannya. Bendungan ini dibangun menggunakan teknik separo tebing dan separo tembok. Teknik membendung yang cerdas dan diakui dunia pada masanya.

“Habis mancing ya Kek?” kata Budi sambil memperhatikan ikan sekepis dan palesan. Sang kakek menjawab pertanyaan Budi dengan senyuman ramah dan anggukan beberapa kali.

Progresif dan Konservatif

Budi merasa kasihan melihat sang kakek. Batinnya bergemuruh. Jiwanya bergejolak. Hatinya prihatin. Ia tak nyaman melihat penderitaan sang kakek. Di usianya yang tak lagi muda, ia masih berjibaku dengan kerasnya dunia. Ia berpikir sang kakek menghidupi keluarganya dengan jualan ikan. Di mana anak cucunya? Sebuah gambaran realitas perih yang sepertinya memang layak mendapat label kasihan.

“Kalau kakek pakai jaring, tangkapan ikannya pasti lebih banyak. Tidak cuma sekepis, kakek bisa dapat ikan sepuluh ember lho!”  kata Budi. Ia menjelaskan kepada kakek teknik menangkap ikan yang efektif dan efisien.

Puluhan tahun, kakek ini memang mencari ikan dengan cara memancing. Ia berhenti memancing jika ikan yang didapatnya dirasa sudah cukup untuk lauk sekeluarga.

“Untuk apa cari ikan sepuluh ember nak?” kata kakek.

“Untuk beli perahu kek. Nanti ikannya kakek jual ke pasar. Terus uangnya bisa kakek gunakan untuk membeli perahu,” kata Budi dengan nada bersemangat.

Mendengar penjelasan Budi, bukannya mengerti  sang kakek malah bingung. “Untuk apa beli perahu nak?” kata kakek.

“Untuk cari ikan yang lebih banyak lagi kek. Dengan perahu kakek bisa cari ikan sampai ke tengah bendungan. Kakek bisa menjelajahi bendungan yang besar ini. Tidak hanya di pinggir sini saja. Nanti kakek bisa dapat ikan satu perahu. Tidak cuma sepuluh ember saja,” kata Budi dengan nada yang sama, semangat.

Sang kakek semakin tidak mengerti dengan pola pikir anak muda ini. Kesenjangan pendidikan mereka sangat tinggi. Sang kakek hanya tamat pendidikan sekolah dasar.

Selain itu, pengaruh lingkungan tempat tinggal mereka juga berbeda 180 derajad. Budi tinggal di ibu kota dengan segala kemodernnannya. Sedangkan sang kakek tinggal di desa dengan segala ketradisionalannya.

Baca juga : Kajian Gagasan dibalik Pemberian Nama Anak

Berpikir Rumit dan Sederhana

“Untuk apa cari ikan satu perahu nak?” kata kakek.

Mendengar pertanyaan kakek yang nampak antusias, Budi mulai menjelaskan soal dunia perikanan lebih luas. Dia menerangkan bahwa kebutuhan ikan di dalam negeri itu sangat tinggi. Saat ini , neraca perdagangan ikan kita defisit. Pemerintah dan swasta belum bisa memenuhi permintan ikan yang tinggi tersebut.  Akibatnya, harga ikan mahal. Banyak masyarakat yang tidak bisa mengonsumsinya.

Padahal, ikan sangat dibutuhkan untuk membangun gizi masyarakat. Gizi yang baik diperlukan  untuk mencetak generasi unggul. Nah, generasi itulah yang mampu membawa sebuah negeri ke masa kejayaannya.

Lihat Jepang, Eropa dan Amerika. Mereka maju karena masyarakatnya setiap hari cukup mengonsumsi protein, cukup makan ikan. Di sini, rakyat masih kurang protein, kurang makan ikan.

“Dengan ikan satu perahu, kakek bisa dapat uang banyak. Uang tersebut nanti kakek gunakan untuk membangun pabrik pengolahan ikan. Kakek akan jadi pengusaha besar. Dan Kakek bisa menolong sesama karena membuka lapangan pekerjaan. Kakek juga bisa beli sepeda motor, mobil, rumah yang besar  dan makan di restoran mahal,” kata Budi dengan berapi-api.

Budi bercerita panjang lebar. Ia seperti sedang memberikan mata kuliah bisnis di depan kelas. Luapan pengetahuannya meluber. Ia gemas.

Bagaimana bisa maju kalau di zaman modern seperti ini cari ikan saja masih dengan pancing. Bagaimana bisa bersaing? Ia lalu teringat tayangan di saluran NGC tentang kapal pukat asing di lautan luas. Sekali tarik, ribuan ikan langsung terangkut ke kapal dalam hitungan detik.

Cara mencari ikan sang kakek sudah obsolote. Budi merasa terpanggil. Ia berniat memberikan pencerahan intelektual. Kebodohan harus diperangi. Kekunoan harus dimodernkan. Dan kemiskinan harus dientaskan.

Dari sekepis jadi sepabrik. Sepertinya sebuah judul buku yang berpotensi menjadi bestseller.

Waktu Luang

Sang kakek plonga plongo mendengar penjelasan Budi.

“Untuk apa membangun pabrik ikan nak?” kata kakek.

“Agar kakek bisa menikmati waktu di masa tua. Kakek tidak perlu kerja keras lagi seperti ini. Kakek bisa bermain dengan cucu,” kata Budi.

“Nak, sampeyan pikir dari tadi saya ini sedang apa. Dari tadi saya ini sedang menikmati waktu saya, menikmati masa tua saya. Dan saya juga sedang bermain sama cucu saya ini,” kata kakek dengan nada ramah sambil merangkul Bejo. Rupanya Bejo memperhatikan percakapan kakeknya dari awal.

Mendengar jawaban sang kakek, Budi terdiam. Mulutnya spontan terkunci. Raut mukanya berubah. Beberapa detik kemudian lantas ia pamit untuk melanjutkan perjalanan.

Setelah itu, sang kakek pun juga berbenah. Senja kian dekat. Ia dan Bejo waktunya pulang ke Wlingi. Keluarganya pasti sudah menunggu.

Di perjalanan pulang sang kakek bercerita kepada Bejo soal globalisasi. Di zaman itu, orang seperti kakek yang masih berjibaku di usia senja, yang berdikari memproduksi bahan pangan sendiri, sering dianggap sebagai potret kemiskinan.

Generasi sekarang tak mau berkeringat untuk pangannya. Kalau bisa beli kenapa harus bikin? Hidup mereka sudah digantung oleh orang lain. Kamu bayangkan kalau orang-orang seperti kakek ini mogok nanam padi, sayur dan buah. Kota metropolis itu akan kacau karena tidak ada persediaan makanan untuk penduduknya.

“Le, begitulah keinginan itu bekerja pada diri manusia. Kamu punya ikan sekepis pengen seember, seperahu hingga sepabrik. Jika rasa ini tak bisa kamu kendalikan maka kamulah yang akan dikendalikannya. Dan, untuk bisa menikmati waktumu kamu tidak harus punya perahu dan pabrik,” kata kakek kepada Bejo, sederhana dan mendalam.

Salam mendalam.

(© ADS)

*Foto oleh Chakaphong H dari Pixabay
*Kisah ini terinspirasi oleh cerita yang pernah penulis baca di google.

Previous article
Next article
Arya Dwi Sasangka
Arya Dwi Sasangkahttps://melekberita.com
Melekberita.com adalah media daring seputar berita. Media yang ringan agar informasi mudah dicerna secara baik dan benar. Sehingga pembaca tercerahkan. Pembaca yang bisa membedakan antara emas dan sampah di tengah gelombang tsunami informasi.

Share post:

Berlangganan

spot_imgspot_img

Popular

Artikel lainnya
Terkait

Insecure dan Overthinking: Dua Sisi Mata Uang yang Sama

Apa itu insecure dan overthinking? Dewasa ini, kedua topik...

Spekulasi dan Bisnis

Dalam perjalanan ke Barat, Bejo bertemu dengan Empu Wiseruh....

Candu Belanja Online

Candu belanja online. Transaksi online dalam beberapa tahun semakin...

Jumat Berkah

Jumat Berkah adalah hari Jumat yang didedikasikan untuk memperbanyak...