melekberita.com – Saat membahas tentang sebuah produk di dalam rapat manajemen terjadi perbedaan pendapat yang tajam. Ada dua kelompok yang berseberangan. Kelompok A yang ahli strategi dan kelompok B yang jago eksekusi.
“Produk harus seperti ini. Dari sisi teori, konsep dan strategi tidak bisa produk seperti itu,” kata kelompok A.
“Bisa. Produk bisa seperti ini. Di lapangan produk seperti itu tidak bisa dijual. Tidak laku,” kata kelompok B.
Jika pada rapat manajemen tersebut kekuatan kedua kubu 50% vs 50% maka dibutuhkan ‘kecerdasan’ direktur untuk mengambil keputusan dengan tepat.
Di buku “Pembelajaran T. P. Rachmat” ada tulisan yang bagus soal kecerdasan (smart). Seperti kasus di atas, dalam kehidupan sehari-hari, kita sering membagi kecerdasan itu menjadi dua, yaitu: academic smart dan street smart.
Academic smart adalah orang yang pintar berkat belajar dari buku, konsep dan teori. Sedangkan street smart adalah orang yang pintar berkat belajar dari pengalaman hidupnya yang kadang keras dan penuh tempaan.
Pembagian seperti ini, disadari atau tidak telah menciptakan sikap dan pola pikir dikotomis.
Orang bertipe academic smart merasa nyaman dan terlatih belajar lewat bacaan yang penuh teori. Belajar dari buku, jurnal dan aneka tulisan karya orang hebat dan besar. Namun, ia tidak terasah untuk memetik pembelajaran lewat pengalaman hidup. Entah itu pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain.
Sebaliknya, orang bertipe street smart merasa cukup belajar dari pengalaman hidup saja. Baginya pengalaman adalah guru terbaik. Ia kurang nyaman terhadap pengetahuan-pengetahuan teoritis yang ada di buku-buku. Ah teori!
Sikap dan pola pikir dikotomis pada akhirnya membuat kita sering melakukan konfrontasi terhadap dua kutub. Pilih A atau B?
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada pilihan-pilihan. Antara : teori atau praktek, buku atau lapangan, refleksi atau aksi, belajar atau bekerja, latihan atau bertanding.
Para pakar menyebut sikap dikotomis seperti ini sebagai pola pikir yang disandera oleh tirani “ATAU” (the tyranny of the OR).
Apa itu? Tirani atau adalah orang yang berpikir dengan cara mengonfrontasikan dan memilih satu sama lain tanpa memikirkan kemungkinan opsi ketiga.
“The test of a first-rate intelligence is the ability to hold two opposite ideas in mind at the same time, and still retain the ability to function.” diriwayatkan oleh F. Scott Fitzgerald, penulis besar Amerika.
Dari dalil di atas, para genius didefinisikan sebagai orang yang sanggup merengkuh secara harmonis hal-hal yang dianggap kontradiktif oleh kebanyakan orang. Mereka mampu melepaskan diri dari tirani “ATAU”. Mereka mampu membangun paradigma baru, yaitu: paradigma “DAN” (the genius of the AND).
The Genius of the AND
Kembali ke laptop. Mari kita renungkan bersama. Bukankah teori yang baik itu lazimnya dibangun di atas praktik yang sudah mapan? Pun sebaliknya, bukankah praktik yang efektif itu umumnya dilakukan di atas landasan teori yang sudah teruji?
Buku yang sahih ditulis berdasarkan pengalaman nyata sesungguhnya di lapangan. Demikian juga pengalaman nyata akan semakin kaya dan lengkap jika sebelumnya dibekali dengan informasi dan pengetahuan yang ada di dalam buku.
Belajar menjadi modal penting untuk bekerja secara lebih efektif. Sebaliknya, bekerja juga menjadi sumber pembelajaran yang luar biasa.
Gagasan-gagasan besar acapkali lahir dari pola pikir integratif. Pola pikir yang mempertemukan dua hal yang seolah-olah berbeda. Contohnya : konsep blue ocean strategy yang digagas oleh W. Chan Kim dan R. Mauborgne. Konsep yang sekarang menjadi bahan kajian dimana-mana itu.
Banyak orang berpikir dengan kerangka “ada uang, ada kualitas”. Artinya peningkatan mutu (value) produk sekaligus peningkatan biaya (cost).
Dalam kerangka berpikir seperti ini, value dianggap sebagai sesuatu yang berseberangan dengan cost. Sehingga pilihannya adalah value atau cost.
Di dalam konsep blue ocean strategy, kedua kutub tersebut disandingkan. Sehingga lahirlah apa yang disebut value innovation.
Value innovation mengubah cara pandang kita. Ia mengajak orang berpikir dengan kerangka ‘dan’ bukan ‘atau’ lagi. Dalam contoh kasus ini, gagasan strategis harus mampu menghasilkan peningkatan value produk dan sekaligus menurunkan cost produksinya.
Blue ocean strategy menjadi inspirasi perusahaan sekelas Samsung dan Toyota untuk memenangkan kompetisi dengan mengadopsi strategi value innovation. Dan mereka sukses.
Pembelajaran
“Ada tiga proses pembelajaran yang ditempuh manusia, yaitu : intelligence, experience,experimentation.” diriwayatkan oleh David A. Garvin dari Harvard.
Pembelajaran intelligence adalah belajar lewat akumulasi informasi dan pengetahuan yang dapat memperkaya wawasan dan pemahaman orang akan sesuatu.
Pembelajaran experience adalah belajar dengan mengalami langsung suatu peristiwa sehingga keterampilan lebih terasah dan penghayatan jadi lebih nyata.
Pembelajaran experimentation adalah belajar dengan cara ujicoba semua pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki dalam setting kenyataan yang sesungguhnya.
Selain tiga hal di atas, secara kejiwaan manusia juga mempunyai tiga aspek pembelajaran, yaitu: kognitif (pengetahuan), afektif (perasaan) dan psikomotorik (perilaku).
Penerapan tiga aspek ini, dalam kehidupan sehari-hari dapat kita lihat pada orang belajar berenang. Orang tersebut harus menguasai teori renang, merasakan suasana kolam renangnya dan harus berani terjun langsung ke dalam air.
Akhirnya, pembelajar sejati tak akan memisahkan antara academic smart atau street smart. Karena smart is just smart.
Ilustrasi: Pixabay