Katasimbah.com – Di buku terbarunya berjudul Confronting Capitalism, Profesor Philip Kotler menulis tentang marketing dan kapitalisme. Apa alasannya? Ada hubungan apakah antara keduanya? Bagaimana mereka bekerja?
“Mengapa saya menulis soal kapitalisme? Pertama, saya adalah Ph.D di bidang ekonomi. Saya menghabiskan waktu bertahun-tahun belajar bagaimana market dan marketing bekerja. Marketing adalah cabang dari ilmu ekonomi,” kata Kotler di ASEAN Marketing Summit, di Jakarta, Jumat (9/10/2015) seperti dikutip Marketeers.
Alasan kedua, lanjut Kotler, marketing adalah mesin dari kapitalisme. Ia beranggapan, tanpa marketing, kapitalisme akan kolaps. “Kapitalisme adalah sistem ekonomi terbaik untuk memproduksi jutaan produk dan jasa. Namun, mereka akan berada di rak jika tidak bisa dipasarkan,” katanya.
Marketing membantu agar barang dan jasa yang dihasilkan sistem kapitalisme dapat dibeli oleh konsumen. “Belum tentu barang itu dibutuhkan konsumen, tapi marketing mampu merangsang dan menstimulus keinginan konsumen,” kata Kotler.
Selain merangsang konsumen, marketing memiliki tugas kedua. Apa itu? Marketing meyakinkan konsumen untuk meminjam sejumlah uang yang dibutuhkan, agar dapat membeli sebuah produk. Kotler menekankan, kebanyakan orang tidak memiliki penghasilan untuk membeli rumah, mobil, atau pendidikan tinggi. Bahkan, ada yang tidak bisa membeli televisi, hp, leptop, ac atau kulkas baru. Maka itu, pemasaran kartu kredit, mortgage, memungkinkan kapitalisme untuk terus hidup.
“Untuk memahami ekonomi kapitalis, kita harus mengganti istilah “konsumen” dengan istilah “peminjam”, karena itu adalah satu-satunya cara untuk menjaga ekonomi tetap berjalan, ketika kebanyakan orang tidak memiliki cukup uang,” kata Kotler yang berusia 84 tahun itu.
Lalu, apa peran yang dimainkan pemasaran dalam ekonomi kapitalis? Kotler menekankan, pemasar membuat orang ingin membeli semua hal yang dibuat kapitalis dan “memaksa” mereka menerima utang untuk memperoleh barang-barang tersebut.
Ada dalil yang menyatakan bahwa marketing yang hebat itu bisa jualan AC di Kutub Selatan. Ingat kan?
Jadi pertama, nafsumu untuk membeli produk atau jasa dirangsang. Meskipun produk atau jasa itu tidak kamu butuhkan. Ada brand awareness, diskon 50%, diskon 50% + 20%, beli 2 gratis 1, 10x servis gratis 1x, fitur member dan sebagainya.
Ngomong-ngomong soal nafsu, nafsu itu batasnya langit. Ia nyaris tak terbatas.
Setelah birahi shopingmu membuncah, masalah akan timbul jika kamu tidak punya daya beli alias tidak punya uang? Ibarat orang kelaparan tapi tidak punya makanan. Tragis!
Tapi tenang saja, jangan kuatir. Marketing sudah menyiapkan solusi untuk kegelisahanmu ini. Kamu sudah disediakan fasilitas pinjaman. Mulai dari yang 0%, 1%, 3%, 6 bulan, 1 tahun, 15 tahun sampai 20 tahun. Tinggal pilih.
Kalau kamu beli barang/jasa yang tidak kamu butuhkan terus bayarnya pakai utang. Anu tenan kamu?
Camkan! Namanya utang itu meski cuma 100 ribu selama 6 bulan, rasanya tidak enak. Ada yang mengganjal. Kebebasanmu terkekang. Apalagi kalau 1 juta selama 20 tahun. Apa tidak kamu gadaikan masa depanmu itu? Kamu harus kerja keras nyaris sepanjang hayat untuk membayar utang. Jelas ini anu tenan.
Kembali ke tulisan Kotler, “Marketing bukan sekadar membuat produk dan layanan yang baik. Tetapi, marketing harus mampu menyampaikan nilai-nilai yang baik untuk kebaikan manusia dan lingkungan,” kata Kotler.
Hanya mengejar profit dengan segala cara tidak akan menjadikan perusahaan sustain di era sekarang. Perusahaan harus mampu memberikan nilai-nilai kepada pelanggan. Pemasaran harus mengusung nilai-nilai yang baik bagi perkembangan manusia dan dunia. Apakah ini semacam politik etis pasca tanam paksa?
Dalam paparannya, Kotler menyitir gagasan Michael Porter, tentang core shared values dalam bisnis. Dalam hal ini, Kotler mengingatkan perusahaan agar dalam menjalankan bisnisnya tetap memperhatikan kepentingan manusia dan alam. Kotler mencontohkan kepedulian pada keberadaan energi di dunia seperti minyak. Perusahaan dalam konteks ini harus memiliki keberpihakan pada pelestarian energi, khususnya dengan pengembangan energi yang terbarukan.
Perusahaan tidak hanya mengejar keuntungan semata (profit), tetapi juga mengembangkan kehidupan manusia (people), khususnya memberi kesejahteraan, dan melestarikan lingkungan (planet). Profit, people, planet.
“Di konteks ini, peran pemerintah cukup besar agar kapitalisme tidak menjadi liar dan berjalan secara salah dengan merugikan masyarakat,” kata Kotler. Pemerintah boleh berbisnis?
“Saya bukan mencari pengganti kapitalisme. Saya harus akui bahwa kapitalisme mungkin cara yang buruk untuk menjalankan ekonomi. Kapitalisme telah menghancurkan diri kita,” kata Kotler.
Kotler juga mengkritik upah buruh yang rendah. Menurut Kotler, upah rendah membuat perekonomian kian memburuk. “Kapitalisme tergantung pada konsumen memiliki cukup uang untuk membeli barang dan jasa yang menghasilkan mesin kapitalis,” katanya.
Saat perusahaan membayar upah rendah kepada karyawannya, singkat kata perusahaan malah tidak bisa menyerap uang. Hal ini menyebabkan rendahnya permintaan, kelebihan pasokan, penurunan investasi, dan rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi, yang pada gilirannya menyebabkan meningkatnya pengangguran.
Kotler juga bilang, kapitalisme saat ini tidak peduli dengan kemiskinan. Jika uang hanya dikuasai oleh segelintir orang, maka kapitalisme pada masanya bakal runtuh. Ini kritik kedua Kotler pada kapitalisme.
“Perusahaan menghasilkan banyak uang untuk shareholder dan stakeholder. Bagaimana dengan pekerjanya? Mereka (perusahaan) tidak pernah ingin membuat tim (dengan pekerja),” kata Kotler.
Kotler pun menawarkan konsep kepada perusahaan untuk memperhatikan sisi sosial dalam berbisnis. “Marketing sangat esensial memainkan peran tersebut, yaitu membuat kapitalisme lebih sosial. Jika Anda yakin kapitalisme adalah mesin untuk membuat Anda kaya, Anda menyusuri jalan yang salah. Jika Anda yakin tujuan Anda adalah untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, maka lakukanlah, dan kekayaan akan datang kepada Anda,” kata Kotler.
Jadi, apakah sekarang akan kita songsong fajar baru. Fajar kapitalsosialis? Piye?
(@DPSasongko)