Gelak tangis dan tawa terkadang membawa kebingungan. Beberapa hari yang lalu, Asep mergoki Entin sesenggukan di kamarnya. Asep panik. Ini bocah kenapa? Apakah ada masalah di sekolah? Ada urusan di circle pertemanannya? Apakah sakit? Siapa yang telah membuatnya sedih?
1001 pertanyaan spontan uhui menggedor-gedor otak Asep. Semuanya minta jawaban. Lekas, segera, dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Kamu kenapa nduk? tanya Asep.
Ini, filmnya sedih banget Yah, jawab Entin enteng.
Mak plong. Asep lega. Jebule film to yang membuat Entin nangis sesenggukan. Bukan yang ia khawatirkan.
Di lain sisi, Asep kuatir. Produk hiburan macam apa itu? Ada agenda terselubung? Konspirasi global? Nonton film kok bisa sampai nangis-nangis gitu. Arep dadi opo iki? Generasi macam apa? Strawberry?
Ah, tidak. Ini harus dihentikan. Tidak bisa dibiarkan.
Baca juga: Halal Haram antara Bungkus atau Isi
Nduk. Nonton film mbok ya ga perlu sampai nangis-nangis gini. Semuanya itu kan setingan. Buatan. Kejadiannya itu cuma adegan. Kamu juga sudah pernah Ayah tunjukkan cara pembuatannya. Akting dramanya. Kalau kamu sampai nangis gitu, berarti yang bikin film itu pinter. Berhasil mempengaruhi kamu.
Tapi ini ceritanya sedih banget Yah, jawab Entin.
Ya ayah paham. Ya sudah nduk, gak papa. Tapi kamu mesti tetap ingat, bahwa film itu fiksi lho ya.
Iya, Ayah.
Asep kemudian meninggalkan Entin di kamarnya. Asep merenung. Batinnya bergejolak melihat fenomena ini. Ada-ada aja anak sekarang.
Sejenak kemudian Asep tercerahkan. Ah, menangis ini kan soal perasaan. Sah-sah saja manusia itu menangis. Apa bedanya kalau saya nonton ludruk atau dagelan terus ketawa cekakan gitu.
Bagaimana kalau pas gitu, saya dilarang ketawa? Nrunyam, ribet tentu. Tangis dan tawa adalah ekspresi perasaan. Fitrah manusia memiliki keduanya.
Ya wis nduk. Pokoke jangan sampai melampaui batas.
Salam batas.
©️ DPS
Kemayoran, Jakarta, Selasa (8/10/2024) 17:31
#melekcerita
Image by Amrulqays Maarof from Pixabay