Dulu, saya punya teman, sebut saja Joni, yang sering tanya kamu tahu enggak, dalam hampir setiap obrolan. Misalnya: kamu tahu enggak, kenapa bbm naik? Kamu tahu enggak, kenapa daya beli menurun? Kamu tahu enggak, kenapa uu abc direvisi? Kamu tahu enggak, kenapa mbg itu belum merata? Kamu tahu enggak, siapa huhuhaha itu?
Dan simpel, saya jawab gak tahu. Kemudian teman saya itu mulai menjelaskan panjang lebar, begini begitu beginu terkait bab di atas. Penjelasan yang ia dapatkan dari hasil membaca media plus penafsirannya, yang menurut saya seenaknya dewe.
Jujurly, saya hanya ngangguk-ngangguk mendengar penjelasannya yang panjang dan pepesan kosong itu. Saya tidak mendebatnya. Karena pernah kita berdiskusi tetapi teman saya ini kurang bisa menerima pendapat or pandangan yang berbeda. Hanya adu otot, bukan otak.
Dalil ia sederhana, saya benar, kamu salah. Menurut teman saya itu, pengetahuan dia yang banyak adalah segalanya. Padahal, ia miskin dalam berlogika. Tidak bisa membedakan antara premis dan kesimpulan. Sejak saat itu, obrolan di antara kami, saya biarkan monolog.
Begini ya manteman. Tahu itu berbeda dengan mengerti pun paham. Kita tahu satu hal, belum tentu mengerti pun paham hal tersebut. Kita tahu lampu merah itu harus berhenti. Tetapi kita gagal paham, kenapa kita mesti berhenti.
Seringkali kita (saya) sulit mencerna sebuah fakta yang nampak sederhana itu dengan baik, benar, dan indah. Kenapa? Karena hal tersebut adalah jalan ninja yang terjal, berliku, dan mendaki.
Akibatnya kita gagal paham. Sehingga kita dengan mudah mengambil sebuah kesimpulan dan menelannya sebagai sebuah kebenaran.
Kita tumpul dalam berpikir kritis pun ilmiah. Yang dalam kata populer sering disebut dungu itu. Pernah dengar, kan? Kita acap kali berkesimpulan jika tidak A maka Z, abai terhadap B-Y.
Saya melihat Joni ini ada di mana-mana. Di sana, di sini, pun di sono. Joni adalah kita.
Salam kita.
©️ DPS
Image by Piyapong Saydaung from Pixabay