katasimbah.com – Bahasa adalah salah satu puncak penemuan (pemberian) tertinggi makhluk hidup dari golongan mamalia, omnivora dan berakal. Makhluk hidup yang menempati puncak piramida rantai makanan. Makhluk hidup ini bernama manusia.
Dengan bahasa, sebuah ide atau gagasan bisa ditransfer dari makhluk yang satu ke yang lainnya. Sehingga yang lain bisa paham dan memahami.
Agar mudah dipahami, ada kalanya bahasa ini harus dikodekan terlebih dulu menjadi tanda. Setelah itu baru dikirim dan digandakan.
Dalam proses di atas, karena belum ditemukannya teknologi copy paste (salin tempel) ide atau gagasan ke otak maka seringkali muncul masalah. Misalnya saat proses decode.
Sehingga, tanda acap kali diterjemahkan secara berbeda. Lalu muncullah pesan error, seperti salah paham.
Yang menarik di sini adalah apakah sebuah tanda itu punya tafsir tunggal, ganda atau bisa multitafsir.
Nah, contoh soal tanda yang masih hangat dewasa ini adalah 411, 212, 55, bunga, lilin dan kotak-kotak.
Tanda-tanda di atas ditafsirkan bermacam-macam oleh setiap manusia. Kemampuan penalaran, ilmu, pengetahuan, pengalaman, kepentingan dan juga kepercayaan sangat mempengaruhi manusia dalam proses decode ini.
Dari sinilah, kemudian muncul apa yang dianggap benar. Kebenaran personal. Kebenaran subyektif. Kebenaran versi sudut pandang.
Kata-kata seperti: toleran, intoleran, NKRI, pancasila, radikal dan takbir jadi sering kita dengar. Saking seringnya, rasanya telah terjadi inflasi terhadap kata-kata tersebut.
Berbagai kebenaran ini saling berinteraksi, lalu muncullah dialog. Tesis, antitesis dan sintesis. Dialektika.
Proses dialog di atas terkadang sengit dan keras. Berbagai sumber daya seperti waktu, tenaga, pikiran dan uang dikerahkan. Sehingga terciptalah panggung besar yang menarik jutaan masa.
Masing-masing berusaha menguasai pikiran yang lain. Analisa, pendapat, kritik, saran bahkan hingga ejekan pun saling dilontarkan.
Berbagai wacana dikembangkan. Muncul arus besar pemikiran. Di sinilah sebuah ide atau gagasan itu diuji.
Tak jarang, serunya dialog ini juga berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama. Bisa berbulan-bulan bahkan tahunan. Efeknya, timbul rasa jenuh bahkan eneg.
Tak hanya itu, tajamnya benturan ide atau gagasan terkadang juga berubah menjadi benturan fisik. Lalu timbullah luka hati yang sulit diobati. Dalam stadium akut, bisa lahir dendam. Ingat kata: dendam tujuh turunan.
Setelah gegap gempita proses pertarungan ide atau gagasan, proses berikutnya adalah proses pengendapan sebelum pengambilan keputusan. Kontemplasi. Tafakur.
Proses ini sangat penting. Proses ini akan menentukan hasil akhir. Di dalam proses ini dibutuhkan sikap diri jujur, adil, tidak sombong dan tawadhu.
Di sinilah para pencari kebenaran memasuki ruang sunyi. Tidak ada siapa-siapa selain dirinya, akalnya, hatinya dan Tuhannya.
Di dalam ruang sunyinya, berbagai suara yang masuk didengar, diolah, disaring, ditimbang dan diputuskan.
Sebagai netizen yang punya akses informasi yang luas, Anda tentu juga punya ruang dialog sendiri. Ruang sunyi Anda sendiri. Apakah setelah masuk ruang itu Anda akan ikut arus besar atau arus kecil atau arus sendiri, saya tidak tahu.
Salam ruang sunyi.
—
Djakarta, 11 Mei 2017