melekberita.com – Data Bank Dunia menunjukkan sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, Indonesia telah memperlihatkan pertumbuhan ekonomi yang sangat baik sejak krisis finansial Asia di akhir 1990an. PDB Indonesia terus meningkat, dari $857 pada tahun 2000 menjadi $3.603 pada 2016.
Jumlah kelas menengah Indonesia juga terus tumbuh, dari nol persen penduduk pada tahun 1999 menjadi 6,5 persen pada 2011 atau setara dengan lebih dari 130 juta orang. Pada tahun 2030, jumlah kelas menengah diperkirakan akan melesat menjadi 141 juta orang.
Saat ini Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, dengan ekonomi terbesar kesepuluh berdasarkan paritas daya beli, dan merupakan anggota G-20. Indonesia telah berhasil mengurangi kemiskinan lebih dari setengahnya sejak tahun 1999, menjadi 10,9% pada tahun 2016.
Dalam satu dekade terakhir, ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata diatas 5,5%.
Sebagai negara mayoritas (85%) berpenduduk Islam, konsumen kelas menengah muslim di Indonesia berubah sangat cepat dan fundamental. Semakin meningkatnya kemakmuran mereka sebagai akibat keberhasilan pembangunan selama ini justru mendorong mereka semakin religius dan spiritual. “Makin makmur, makin pintar, makin religius.” Kalimat ini sangat pas menggambarkan pergeseran itu.
Lihat fenomena menarik berikut ini. Dalam beberapa tahun terakhir, “revolusi hijab” terjadi di Indonesia. Hijab menjadi tren gaya hidup (fesyen, kosmetik, asesoris) yang menjalar ke seluruh pelosok tanah air. Berhijab menjadi sesuatu yang cool, modern, trendy, techy dan begitu diminati. Hijab hadir di mana-mana. Di jalan-jalan, sekolah, kantor, mal, seminar, dan acara-acara TV.
Tidak hanya itu, dulu kaum muslim juga kurang begitu peduli dengan label makanan halal, kini mereka menjadi sangat peduli. Dulu kaum muslim kurang peduli dengan praktek riba dalam perbankan, kini mereka mulai peduli untuk menghindarinya.
Dalam buku yang berjudul Marketing to the Middle Class Moslem, Mas Yuswohady membagi konsumen muslim ke dalam empat sosok, yaitu: Apathist, Conformist, Rationalist, dan Universalist.
Apathis: “Emang Gue Pikirin?”
Sosok ini adalah tipe konsumen yang memiliki pengetahuan, wawasan dan seringkali tingkat kesejahteraan ekonomi yang masih rendah. Selain itu, konsumen ini memiliki tingkat kepatuhan dalam menjalankan nilai Islam yang juga rendah. Konsumen tipe ini umumnya tidak memiliki pemahaman yang cukup mengenai produk-produk berlabel Islam atau menawarkan value proposition yang Islami. Karena itu mereka tak begitu peduli apakah suatu produk bermuatan nilai-nilai keislaman ataupun tidak.
Rationalist: “Gue Dapat Apa?”
Sosok ini adalah tipe konsumen yang memiliki pengetahuan tinggi, open-minded, dan wawasan global, tetapi memiliki tingkat kepatuhan pada nilai-nilai Islam yang masih rendah. Segmen ini sangat kritis dan pragmatis dalam melakukan pemilihan produk berdasarkan parameter kemanfaatannya. Namun dalam memutuskan pembelian, mereka cenderung mengesampingkan aspek-aspek ketaatan pada nilai-nilai Islam. Bagi mereka label Islam, value proposition syariah, atau kehalalan bukanlah menjadi konsideran penting dalam mengambil keputusan pembelian.
Conformist: “Pokoknya Harus Islam”
Sosok ini adalah tipe konsumen muslim yang umumnya sangat taat beribadah dan menerapkan nilai-nilai Islam secara normatif. Karena keterbatasan wawasan dan sikap yang konservatif/tradisional, sosok konsumen ini cenderung kurang membuka diri (less open-minded, less inclusive) terhadap nilai-nilai di luar Islam khususnya nilai-nilai Barat. Untuk mempermudah pengambilan keputusan, mereka memilih produk-produk yang berlabel Islam atau yang di-“endorsed” oleh otoritas Islam atau tokoh Islam panutan.
Universalist: “Islami Itu Lebih Penting”
Sosok konsumen muslim ini di satu sisi memiliki pengetahuan/wawasan luas, pola pikir global, dan melek teknologi; di sisi lain juga secara teguh menjalankan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Mereka memahami dan menerapkan nilai-nilai Islam secara substantif, bukan normatif. Mereka lebih mau menerima perbedaan dan cenderung menjunjung tinggi nilai-nilai yang bersifat universal. Mereka biasanya tidak malu untuk berbeda, tetapi di sisi lain mereka cenderung menerima perbedaan orang lain. Singkatnya mereka adalah sosok yang open-minded dan inkulsif terhadap nilai-nilai di luar Islam.
Setelah mengetahui tipe-tipe konsumen muslim serta melihat perubahan besar yang terjadi pada konsumen kelas menengah muslim di Indonesia, pertanyaan besar muncul di kalangan pemasar: bagaimana mereka harus merespons? Apa saja strategi dan taktik ampuh yang harus dijalankan? Anda bisa baca lebih dalam di buku: Marketing to the Middle Class Moslem, Yuswohady.