melekberita.com – Seven eleven (7-Eleven) adalah jaringan toko kelontong (convenience store) 24 jam asal Amerika Serikat yang sejak tahun 2005 kepemilikannya dipegang Seven & I Holdings Co., sebuah perusahaan Jepang. Pada tahun 2004, lebih dari 26.000 gerai 7-Eleven tersebar di 18 negara; antara pasar terbesarnya adalah Amerika Serikat dan Jepang.
Didirikan pada tahun 1927 di Oak Cliff, Texas (kini masuk wilayah Dallas), nama “7-Eleven” mulai digunakan pada tahun 1946. Sebelum toko 24 jam pertama dibuka di Austin, Texas pada tahun 1962, 7-Eleven buka dari jam 7 pagi hingga 11 malam, dan karenanya bernama “7-Eleven” (7-Sebelas).
Mulai 30 Juni 2017, gerai 7-Eleven atau Sevel di Indonesia resmi tutup setelah perusahaan asal Thailand, Charoen Pokphand gagal mengakuisisi Sevel. Padahal ritel yang hadir di tanah air sejak 2009 ini sempat menjadi tempat nongkrong paling favorit anak muda di kota-kota besar di Indonesia.
Apa yang terjadi sehingga Sevel mengibarkan bendera putih?
Berikut ini adalah hasil cuplikan perbincangan Eva Yunizar dengan Guru Besar Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Rhenald Kasali yang disiarkan CNN Indonesia, 28 Juni 2017.
Selamat sore Pak Rhenald.
Selamat sore Eva.
Delapan tahun Sevel akhirnya menyerah dan menutup gerainya. Menurut Anda apa alasan utama yang membuat Sevel akhirnya tak mampu bertahan?
Tentu apa yang disampaikan oleh Sevel itu menarik bahwa mereka telah ketidakmemiliki persoalan dalam sumber daya. Sumber daya itu artinya adalah yang masuk dibandingkan yang keluar, itu jauh lebih besar yang keluar daripada yang masuk. Bisnis itu hanya bisa survive kalau yang masuk atau revenue atau penjualannya lebih tinggi daripada biayanya. Itu hukum dasarnya. Nah di mana letak persoalannya. Tentu di situ ada cara-cara yang dilakukan tidak sesuai. Dan ada penyebabnya mengapa cara-cara yang tidak sesuai itu terjadi. Saya melihat antara tahun 2009 sampai 2012/2013, itu relatif bagus sekali. Bahkan sempat dipuji oleh harian The New York Times. Jadi tidak usah penutupan, pada waktu gerainya ramai saja, itu sudah menarik perhatian harian The New York Times di halaman depan, dengan konsep nongkrong anak mudanya itu. Karena mereka juga menggunakan sosial media, twitter, facebook, dan sebagainya. Sehingga anak muda ngumpul dan di situ ada wifinya dan disesuaikan dengan budaya asli Indonesia. Karena anak-anak Indonesia itu di seluruh Indonesia, mulai dari Banda Aceh kumpulnya di kedai kopi Ulee Kareng, di kedai kopi di Medan, di Pekanbaru, Palembang sampai ke Pontianak, Jakarta, Surabaya, NTT. Kita senang nongkrong orang-orang kita. Nah di situlah terjadi transaksi dan terjadi loyalitas. Ada ikatan, ada kedekatan, ada konsumsi. Tetapi ketika sekarang terjadi berbagai persoalan tapi saya kira persoalannya adalah kalau kita lihat angka mulai merosot 2013 sampai 2016/2017, parah 2017. Tetapi penyebabnya adalah apa yang terjadi di titik awalnya 2012, itu menarik perhatian. Saya melakukan riset, tahun 2012 saya pernah mengirim mahasiswa saya untuk melakukan praktek di beberapa ritel, salah satunya di Sevel. Saya masih ingat apa yang terjadi di sana. Dan kemudian saya membaca liputan, pada waktu itu 2012 ada kehebohan karena di kementerian perdagangan, tiba-tiba Sevel dijewer oleh petugas di sana, ada dimuat di detikfinance yang mempersoalkan bisnis modelnya kayak apa. Ini kalau dibilang restoran kok ada convenience store nya. Kalau dibilang convenience store kok ada meja bangkunya. Itu yang dipersoalkan. Sehingga regulator pada saat itu mulai intervensi. Nah yang menarik perhatian, di situ dia mulai grogi menurut hemat saya. Karena ada beberapa bulan mereka terhambat untuk melakukan adjusment. Tiba-tiba kompetitornya semua menerapkan apa yang diterapkan oleh Sevel. Kira-kira begitu.
Artinya, lebih kepada faktor internalnya yang tidak bisa menyesuaikan terhadap perubahan yang terjadi, begitu pak Rhenald? Ataukah faktor eksternal ini lebih kuat?
Ada dua-duanya. Internal dan eksternal. Jadi faktor eksternal itu membuat mereka grogi. Saya kira ya, Sevel ini kan lanjutan dari grup modern yang pernah mengalami kebangkrutan karena fuji film itu tidak bisa lagi mereka jual. Jadi mereka mempunyai titik-titik outlet yang bagus dan mereka tawarkan. Dan Sevel di Dallas itu tertarik dengan Sevel Indonesia dengan modern grup karena mereka ini adalah memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi. Dan punya pengalaman tinggi yang bagus dalam ritel. Pernah menjual film roll. Dan kemudian mereka ini tidak punya pilihan lain. Mereka mengatakan, we are dying. Kita mau mati kalau kita enggak punya Sevel. Dan Sevel kemudian tertarik karena mereka punya bisnis model baru. Begitu regulator saat itu mempersoalkan dan meminta agar Sevel Indonesia mereformat bisnisnya, perencanaan mereka jadi kacau. Karena kalau franchise itu tidak seperti milik kita di Jakarta, kita langsung melakukan adjusment, adaptasi. Tapi kalau Internasional, apalagi itu Amerika, sangat rigid. Jadi mereka harus report dulu ke Amerika, regulator di Indonesia melarang kami untuk digabungkan antara convenience store dengan tempat makan. Nah, mereka di sana mikir harusnya bagaimana. Rapat lagi. Itu prosesnya panjang. Apalagi pemiliknya bukan orang Amerika tapi adalah orang Jepang. Orang Jepang itu mengambil keputusannya memang lama.
+BONUS
Tayangan selengkapnya: