katasimbah.com – Beberapa tahun yang lalu, pada suatu pagi di sebuah desa yang terletak di lereng gunung, Paijo terlibat obrolan yang serius tapi santai dengan Simbah. Saat itu Paijo sedang heran melihat kondisi negerinya yang tidak semandiri dulu. Khususnya bidang pangan.
“Mbah, tahu enggak, masak sekarang garam saja kita mesti impor,” kata Paijo.
“Oya?” kata Simbah.
“Tidak hanya garam lho mbah tapi juga beras, bawang merah, bawang putih, jagung, singkong, cabai dan sembako lainnya,” kata Paijo.
“Terus?” kata Simbah.
“Berarti kita gak berdaya dong mbah. Masak menanam padi, jagung, singkong saja gak bisa. Pantai kita sebagai negara di benua maritim kan panjang sekali, masak bikin garam juga ga bisa? Belum lagi soal daging, masak ternak sapi juga gak bisa?” kata Paijo berapi-api.
“Kalau impor handphone, mobil dan produk teknologi canggih lainnya aku masih bisa mengerti mbah. Sebab kita kan gak bisa membuatnya. Nah ini, masak kita impor sembako?” kata Paijo.
“Begini Jo. Yang kamu gelisahkan itu ada benarnya dan ada salahnya. Benar kita gak berdaya tapi salah kalau kita tidak bisa. Kita bisa. Generasi simbah dulu sudah membuktikannya to. Pernah swasembada. Saat ini, kita hanya kurang niat saja,” kata Simbah.
“Orang nggumun, kok sekarang sembako saja kita impor. Tapi mereka itu sadar enggak, emangnya sekarang masih ada yang menanam padi, jagung, singkong? Ada yang membuat garam? Ada yang ternak sapi?” kata Simbah.
“Ada sih ada Jo. Cuma cukup enggak semua itu untuk ngingoni orang serepublik ini? Jawabannya jelas tidak. Kalau kamu pergi ke pelosok desa Jo, petani seangkatan simbah, anak cucunya sudah tidak mau lagi jadi petani. Mereka ada yang ke luar negeri, ada yang jadi guru, bidan, dokter, PNS, ABRI, karyawan, merantau ke kota,” kata Simbah.
“Pendek kata, jumlah petani menyusut drastis sebab tidak ada regenerasi. Nah kalau ketahanan pangan di negeri ini masih kamu sandarkan ke generasi simbah, yo ajur Jo. Simbah dan teman-teman itu sekarang macul kan cuma sak madya saja. Asal cukup buat makan. Enggak seperti dulu sewaktu simbah sedang mbiayai anak sekolah. Sekarang anak-anak simbah wis mentas kabeh, sudah pada jadi orang,” kata Simbah sambil menarik nafas dalam-dalam.
“Terus gimana dong mbah?” kata Paijo.
“Harus ada gerakan kembali ke sawah. Gerakan kembali macul lagi buat pemuda pemudi harapan bangsa. Kalau kamu tidak ingin kita impor sembako lagi,” kata Simbah.
“Dan gerakan ini juga tidak mudah Jo. Menjadi petani di era milenial ini adalah pilihan jalan hidup yang penuh onak dan duri,” kata Simbah.
Paijo mendengarkan dengan seksama cerita simbah. Pandangan simbah ini mungkin tidak ilmiah seperti pikiran para intelektual. Namun, Paijo kagum dengan cara pandang simbah yang sederhana tapi mencerahkannya.
Hari ini, Paijo membaca berita di koran. Di situ dilaporkan bahwa para cendekiawan menjelaskan, selain karena faktor tekanan global, lemahnya rupiah juga terjadi karena kebiasaan negeri ini melakukan impor komoditas. Barang-barang impor itu tidak selalu barang elektronik. Kebutuhan bahan pokok, seperti jagung, bawang merah, gula, dan garam, juga diimpor.
Paijo teringat kembali cerita simbah beberapa tahun yang lalu itu. Pantas kalau ada yang tanya piye kabare le? Gumam Paijo.
Salam gumam
—
Djakarta, 13 Mei 2015