Profesor Haryadi Gunawi meluruskan lima mitos meraih doktor di Amerika. Di Endgame edisi 164, Associate Professor University of Chicago itu berbagi keresahannya dengan Gita Wirjawan soal minimnya jumlah mahasiswa Indonesia yang bersekolah di luar negeri.
Menurut beliau, kendala orang Indonesia mengejar doktor di Amerika bukan hanya soal pendanaan namun pola pikir.
Professor Haryadi Gunawi meluruskan lima mitos (kesalahpahaman terbesar) yang banyak dipercaya orang terkait melanjutkan pendidikan doktor ke Amerika.
Baca juga: Seni Debat: Mengelola Perspektif di Arena Ide
Lima mitos meraih doktor di Amerika tersebut yaitu:
1. Sulitnya pendanaan
Faktanya: Anda akan mendapat uang saku sebagai asisten dosen atau asisten riset dari profesor yang Anda pilih di PhD.
2. Jenjang karir hanya jadi akademisi.
Faktanya: Secara statistik, lulusan PhD yang jadi dosen cuma 10%. Sisanya bekerja di dunia industri.
3. Untuk tembus admission wall, Anda harus punya IPK tinggi dan punya pengalaman kompetisi.
Faktanya: Bukan IPK dan kompetisi yang penting, tapi pengalaman riset yang matang—minimal 2 tahun.
4. PhD lama dan mahal.
Faktanya: Waktunya panjang (lima tahun) karena langsung combo S2 dan S3. Hal ini untuk menekan biaya pendidikan. Jadi Anda tidak perlu punya gelar Master terlebih dahulu untuk bisa meraih PhD di Amerika.
5. Kuliah Doktor gak seru.
Faktanya: Banyak yang bisa dieksplorasi selama kuliah. Anda bisa mengikuti konferensi internasional dan magang di perusahaan-perusahaan global, seperti: Google, Microsoft, Facebook, dan lainnya. Kuliah S3 tidak sama dengan hidup di lab saja.
Salam lab saja.
Jakarta, 21/12/2023 12:18
(©ADS)
#melekberita
*Image capture by ADS