Kajian Gagasan dibalik Pemberian Nama Anak

Date:

Nama anak adalah doa. Kepercayaan ini mengakar kuat di benak masyarakat sejak dulu hingga kini. Tak percaya? Coba tanyakan kepada mbah buyut, eyang, pak dhe, bu lek, kerabat atau teman.

Dari penelusuran saya di mesin pencari google, seorang anak memang berhak diberi nama yang baik.

Seseorang datang kepada Nabi SAW dan bertanya, ”Ya Rasulullah, apa hak anakku ini?” Nabi SAW menjawab, “Memberinya nama yang baik, mendidik adab yang baik dan memberinya kedudukan yang baik (dalam hatimu).” (HR. Aththusi).

Berdasar hadis tersebut tidak ada kewajiban memberi nama anak dengan bahasa Arab. Artinya orang bebas memakai bahasa apapun untuk nama anak. Bisa memakai bahasa Jawa, Madura, Bali, Sunda, Batak, Makassar, Maluku, Papua dan sebagainya. Yang penting harus baik.

Lantas darimana munculnya anggapan bahwa nama anak dengan bahasa Arab itu lebih baik daripada bahasa yang lainnya? Entahlah. Yang jelas, di Arab orang mengumpat dan marah-marah itu juga menggunakan bahasa Arab.

Kembali ke nama, zaman sekarang orang tua lebih senang memberi nama anak jika tidak kearab-araban ya kebarat-baratan. Mengapa? Fenomena apakah ini?

Religius atau Dianggap Religius?

Nama anak dengan Bahasa Arab dianggap lebih religius. Orang tua memberi nama anak dengan bahasa Arab, punya motif, salah satunya karena mereka ingin mendapatkan pengakuan dari lingkungan. Pengakuan tentang religiusitas di keluarganya.

Semakin Arab nama yang diberikan kepada anak, semakin ingin dianggap agami kehidupan suatu keluarga tersebut. Pengakuan seperti ini yang diharapkan. Keagamaan menduduki tempat yang tinggi dalam sebuah keluarga. Meskipun ia hanya simbolisasi saja.

Tentu tidak semua demikian, sebab ada juga orang religius yang memberi nama anaknya menggunakan bahasa Arab.

Kenapa peristiwa seperti di atas terjadi? Hal ini tak lepas karena terjadinya era pembaharuan dalam memahami ajaran Islam. Pembaharuan ini mengajak setiap manusia agar kembali mengamalkan Islam secara total. Baik dari segi negara, hukum, ekonomi hingga ruang pribadi sekalipun. Termasuk urusan memberi nama anak.

Modern atau Ngawur?

Golongan kedua adalah orang tua yang suka memberi nama anak ala kebarat-baratan. Sama seperti di atas bedanya pada motif. Motif orang tua di sini adalah modernitas. Nama Indonesia asli seperti Bejo, Joko, Asep, Cecep, Enting, Entong, Made, Wayan dianggap sudah kuno.

Pandangan seperti ini tak lepas dari arus globalisasi tentunya. Kemajuan dunia barat telah menciptakan kiblat baru. Seperti agama, kemajuan tersebut mampu menembus ruang-ruang pribadi hingga masuk ke urusan nama anak.

Jika kita endapkan sebentar, apakah betul nama Robert itu lebih modern daripada Bejo? Apakah betul modern dan tidaknya seseorang itu dilihat dari namanya?

Lantas, kemajuan atau kengawurankah ini? Anda tentu punya jawabannya.

Hilangnya Budaya

Jika hal-hal seperti di atas terus terjadi maka suatu saat hilanglah budaya asli kita yang konon adi luhung. Dalam hal ini yaitu bahasa untuk nama anak sebagai jatidiri bangsa.

Kelak kita akan menyaksikan Sharon Britney Keizha dengan rambut disemir merah, memakai celana levis, makan pizza hut sambil minum kopi starbucks sedang mendengarkan musik hip-hop di sebuah mal X.

Sementara itu dilain tempat terlihat pria bergaya Arab,  namanya Fakhri Ghassan. Ia berkenalan dengan sohibnya disebuah acara kajian. Katanya : “Nama ana Fakhri Ghassan bukan Pahri Hasan, ikhwan dan akhwat sering salah sebut lho, jadi harap antum paham ya.”

Jika kedua orang tersebut adalah peranakan bule atau Arab tentu wajar-wajar saja. Tapi jika bapaknya asli Wlingi-Blitar dan ibunya asli Solo tentu ini tidaklah lucu.

Selain doa, nama juga merupakan identitas. Identitas adalah pembeda antara manusia satu dengan yang lainnya. Antara orang Indonesia, Arab atau Barat.

Makanan asli kita terpinggirkan, bahasa kita tersisih, pakaian kita tergusur, dan gaya hidup kita terimitasi. Jika nama anak kita juga ‘terhapus’ lantas bagaimana kita dikenal sebagai orang Indonesia.

Dalam hal pelestarian budaya, orang tua yang menamai anaknya dengan Bahasa Jawa, Madura, Bali, Sunda, Batak, Makassar, Maluku, Papua jelas lebih berperan jika dibanding dengan orang tua yang menamai anaknya dengan bahasa Arab atau Barat.

Bagaimana dengan orang tua yang memberi nama anaknya Sabklitinov yang berarti Sabtu Kliwon Tiga November?

(©ADS)

*Foto oleh Markus Winkler dari Pixabay
*Tulisan ini pertama dibuat pada 05 Juni 2007 – 18:00 dan direvisi 30 Januari 2015 – 15:59

Arya Dwi Sasangka
Arya Dwi Sasangkahttps://melekberita.com
Melekberita.com adalah media daring seputar berita. Media yang ringan agar informasi mudah dicerna secara baik dan benar. Sehingga pembaca tercerahkan. Pembaca yang bisa membedakan antara emas dan sampah di tengah gelombang tsunami informasi.

Leave a Reply

Share post:

Berlangganan

spot_imgspot_img

Popular

Artikel lainnya
Terkait

Insecure dan Overthinking: Dua Sisi Mata Uang yang Sama

Apa itu insecure dan overthinking? Dewasa ini, kedua topik...

Spekulasi dan Bisnis

Dalam perjalanan ke Barat, Bejo bertemu dengan Empu Wiseruh....

Candu Belanja Online

Candu belanja online. Transaksi online dalam beberapa tahun semakin...

Jumat Berkah

Jumat Berkah adalah hari Jumat yang didedikasikan untuk memperbanyak...