Pada awal tahun 2000 an, kartu kredit adalah barang bergengsi. Bisa memiliki kartu kredit adalah satu kebanggaan. Punya kartu kredit, Anda dianggap orang sukses.
Kenapa?
Karena status sosial dan perilaku hidup gaya.
Pada saat itu, untuk bisa memiliki kartu kredit itu tidak mudah. Gaji Anda harus besar. Tidak bisa hanya di atas UMR saja. Tetapi juga mesti di atas jauh UMR.
Jadi : jika Anda memiliki kartu kredit, itu artinya gaji Anda besar. Semakin tinggi level kartu kredit Anda, semakin besar pula gaji Anda.
Selain HP, kartu kredit ini menjadai wahana pamer. Pamer untuk hidup gaya. Saat membayar dengan kartu kredit, ada perasaan bangga.
Sebelum punya kartu kredit, saya pernah melihat teman saya, sebut saja Paijo membayar barang dengan kartu kredit. Saat itu saya merasa dia keren banget. Pemuda sukses. Kaya, mantab.
Dan memang Paijo itu gajinya gede. Lebih gede dari saya. Entah dari mana pemikiran saya itu. Sepertinya dari cekokan globalisme.
Agustus, 2003, teman saya, sebut saja Gino mengajak saya membuat kartu kredit.
Setelah melalui proses, saya dinyatakan lolos seleksi. Saya senang sekali. Artinya sebentar lagi, saya akan punya kartu kredit. Sama seperti Paijo.
Dan benar, dua minggu kemudian, seorang kurir mengantarkan kartu kredit saya ke kosan di Kebon Sirih, Jakarta Pusat.
Baca juga : Konversi
Awal punya kartu, kartu saya levelnya silver. Seiring prestasi saya menggunakannya, level saya naik ke gold kemudian naik lagi ke platinum.
Berapa limitnya?
Kartu silver pada saat itu, kalau tidak salah limitnya 600 ribu. Sampai tertinggi platinum kemarin, limitnya 50 juta.
Seiring perjalananan, pada September, 2022, kesadaran baru saya tumbuh. Saya tutup kartu kredit itu. Buat apa saya terus memegang kartu yang ‘jarang’ saya gunakan itu.
Jika awal 2000 an kartu kredit bagi saya adalah barang wah. Barang yang ‘wajib’ dimiliki. Di tahun 2022 tidak. Kartu kredit buat saya adalah barang yang mengerikan. Jauh dari berkah.
Jika dulu saya senang karena memiliki kartu kredit maka sekarang saya juga senang tanpa kartu kredit. Dua keadaan yang bertolak belakang tapi sama-sama senang. Alhamdulillah.
Dua puluh tahunan, kesadaran itu berproses. Dua ide ekstrim beradu gagasan di dalam pikiran.
Lalu pengalaman selama ini bagaimana, terutama soal hutang dan riba?
Alhamdulillah saya tidak pernah macet. Apalagi diteror debt collector. Karena memang saya tidak pernah memakai dengan nominal yang tidak sanggup saya cicil. Cerita detail tentu panjang kali lebar alias luas. Lain kali mungkin bisa saya bahas.
Yang saya ingat, sejak pertama saya bikin kartu kredit, sudah ada dua mahzab pemikiran.
Pertama: mereka yang menganut pemikiran kalau bisa lunas kenapa mesti hutang?
Kedua: mereka yang menganut pemikiran kalau bisa hutang kenapa mesti lunas?
Anda ikut mahzab yang mana?
Salam lunas.
(©ADS)
Kemayoran, Jakarta, 1/10/2022 14:50
#melekfinansial
#melekberita
*Image by DPS