Dalam berbagai kesempatan, para ahli ekonomi dan pengamat keuangan sering mengatakan bahwa jumlah maksimal rasio utang terhadap pendapatan adalah 30% itu masih aman. Benarkah?
Mari kita kupas lebih mendalam.
Saya bukan ahli ekonomi dan keuangan. Saya tidak paham dan mengerti darimana teori di atas berasal?
Namun mari kita gunakan ilmu jalanan saja. Ilmu kehidupan untuk membedah ‘mitos’ rasio utang seperti di atas.
Ilmu ini memungkinkan dipraktekkan oleh siapa saja, di mana saja, status sosial apa saja.
Cicilan Ideal
Studi kasusnya, begini ceritanya:
Ada dua pemuda harapan bangsa. Sebut saja namanya Paijo dan Paimo.
Paijo berumur 30 tahun dan bekerja di perusahaan swasta dengan gaji 10 juta per bulan. Di usianya yang matang, pemuda ganteng ini belum menikah. Ia masih betah sendiri.
Paimo adalah teman seangkatan Paijo, satu kantor. Gaji mereka sama. Paimo sudah menikah dengan gadis cantik pujaannya. Mereka dikaruniai dua orang anak yang sangat lucu. Yang pertama masuk TK dan yang terakhir baru dua tahun.
Dalam sebulan, Paijo menghabiskan sekitar 5 juta untuk kebutuhan hidupnya. Seperti bayar kos, makan, belanja online, ngopi cantik, dan lainnya.
Tidak demikian dengan Paimo. Ia mesti menghidupi tiga orang anggota keluarganya. Paimo menghabiskan sekitar 9 juta untuk kebutuhan hidupnya. Paimo membeli susu, popok, mainan, baju anak, biaya sekolah, kontrak rumah, token listrik, biaya internet, makan keluarga, kesehatan anak, hingga kosmetik istri tercinta.
Singkat kata, kebutuhan bulanan Paimo lebih besar dari Paijo.
Mitos rasio utang
Dari cerita pendek di atas, apakah teori rasio utang maksimal 30 persen dari ahli ekonomi di atas masih relevan? Menurut saya, tidak.
Kenapa?
Setelah dipotong biaya kebutuhan hidup, Paijo mempunyai dana bebas sebesar 5 juta. Setara dengan 50% dari pendapatannya. Dana ini aman atau ideal untuk dijadikan cicilan.
Tidak demikian dengan Paimo. Paimo hanya memiliki dana bebas sebesar 1 juta. Atau setara 10% dari pendapatannya yang aman untuk dijadikan cicilan.
Jadi, meski Paijo dan Paimo sama-sama mempunyai pendapatan 10 juta namun kemampuan cicilan mereka tidak sama.
Jika Paimo nekad mengambil KPR dengan cicilan 30% per bulan, konsekuensinya adalah banyak kebutuhan yang mesti ia kurangi. Terutama kebutuhan sekunder pun tersier.
Ketika Paimo mesti membayar KPR selama 20 atau 25 tahun, tentu ini adalah sesuatu yang tidak mudah. Ketika Paimo tidak memiliki likuiditas atau ruang fiskal lagi, bagaimana ia bisa memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya?
Di sinilah, orang rawan masuk ke fasilitas kartu kredit, paylater, atau pinjol. Akhirnya yang terjadi adalah mereka gali lubang tutup lubang.
Maka, sudah saatnya teori rasio hutang 30% ini saya koreksi. Bagaimana? Anda boleh sepemahaman, boleh juga tidak.
Beban utang
Utang adalah beban di masa mendatang. Menanggung beban dalam jangka waktu panjang dibutuhkan ketahanan yang prima. Ketahanan yang luar biasa.
Banyak krisis rumah tangga terjadi karena utang. Oleh karena itu, utang harus bisa dikelola sebaik mungkin.
Jika utang terlalu besar, bisa membuat pengeluaran Anda terganggu. Akibatnya, Anda terlalu banyak membayar cicilan sehingga kebutuhan sehari-hari menjadi sangat minim atau bahkan tidak tercukupi.
Di sinilah alarm krisis mulai menyala. Peringatan dini bagi keluarga untuk waspada. Situasi seperti ini harus segera dicarikan solusi sebab kalau tidak akan mengganggu kedaulatan sebuah keluarga.
Dalam level ekstrim, tidak hanya krisis, jerat utang bahkan bisa membuat sebuah keluarga hancur. Bubar di tengah jalan.
Keuangan negara juga seperti keluarga. Ia harus dikelola dengan baik dan benar. Bahasa kerennya, profesional.
Berapa rasio utang negara saat ini?
Menurut informasi di jagad maya: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat total utang pemerintah hingga akhir Februari 2018 sebesar Rp 4.034,80 triliun. Setara dengan 29,24% terhadap PDB.
Apakah dengan utang sebesar itu, rasio di bawah 30%, masih aman? Saya tidak tahu. Dan kalau saya tahu, Anda juga tidak akan mempercayai saya. Emang saya ini siapa!
Kalau sampeyan kepo tentang kinerja keuangan negara kita, monggo langsung ke TKP saja: https://www.kemenkeu.go.id/apbn2018.
Akhir kata, sampeyan termasuk yang mana, pengikut aliran rasio atau bukan?
Salam rasio.
(©ADS)
—
Djakarta, 29/03/2018
*Image by Rilson S. Avelar from Pixabay