melekberita.com – Dua puluh tahun yang lalu, sumur itu menjadi sumber mata air keluarga itu di desa itu. Desa yang berlimpah air di kaki Gunung Berapi.
Dua tahun kemudian masuklah jaringan Pipa Air Minum (PAM) ke penjuru desa. Katanya sekarang adalah era pembangunan. Jadi tidak perlu repot lagi nimba air dari sumur, enggak zaman. Tinggal buka kran saja, air langsung ngucur. Kapanpun butuh air, tinggal buka kran. Sederhana, mudah.
Masih menurut katanya, konon air PAM lebih bersih dari air sumur, bahkan lebih enak, segar, sehat dan aneka lebih yang lainnya.
PAM membuat penduduk desa galau. Ramai-ramai mereka bedhol desa pasang PAM di rumahnya. Beberapa orang bahkan ada yang menutup sumurnya. Permintaan pembuatan sumur baru turun drastis.
Salah satu penduduk yang galau itu sebut saja namanya Joni. Joni takut kalau keluarganya ikut tren pasang PAM.
Joni yang lagi masa pertumbuhan (Anak Baru Gede/ABG) sedang senang dan giat-giatnya olahraga. Menimba air dari sumur dan memindahkannya dari satu tempat ke tempat yang lain adalah bentuk olahraga yang wow menurut Joni.
Di pikiran Joni, dia ingin awake dadi. Orang desa menyebutnya kotak-kotak. Kalo bisa Joni ingin badannya kotak-kotak kayak Rambo, idola remaja saat itu.
Bagi Joni, menimba air adalah manifestasi dari nge-gym. Menimba air adalah sarana yang bisa membentuk badannya menjadi kotak-kotak.
Tidak hanya itu, karena baru peralihan dari anak-anak ke ABG, Joni juga baru saja mendapat SIM (Surat Izin Menimba) air di sumur dari orang tuanya. Suatu kebanggaan tersendiri buat Joni. Asal Peno tahu ker, bisa menimba air dari sumur itu termasuk salah satu keinginan umum bocah di desa itu.
Dengan SIM tersebut, dia berarti sudah boleh mengambil air dari sumur. Sama seperti yang dilakukan oleh orang dewasa yang lainnya. Suatu aktifitas yang tadinya hanya bisa dilihatnya saja karena belum cukup umur.
Kalau keluarganya beralih ke PAM dan mematikan sumur, pupus sudah impian Joni punya badan kotak-kotak. Dia tidak bisa nge-gym lagi. Sia-sia juga Surat Ijin Menimba air yang baru saja diperolehnya. Energi Joni saat itu sedang top-topnya.
Beruntung keluarga Joni termasuk konsisten. Konsisten menimba air di sumur. Di saat keluarga lain tinggal buka kran air ngucur, keluarga Joni meski pakai otot dulu untuk mendapatkan air. Susah dan repot memang.
Karena banyak orang yang memasang PAM, lama-lama rasanya keluarga Joni menjadi udik, tidak masa kini, jadul, kolot dan lain-lain. Tapi mereka biasa saja dengan label-label itu.
Problem Perubahan
Zaman terus berputar, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Entah kenapa aliran air PAM tidak ikut berputar. PAM yang dulu mengucur deras kini byar pet.
Kondisi ini membuat penduduk galau jilid dua. Air yang dulu gratis dan mudah di dapat kini sudah bayar belum tentu lancar mengalirnya.
Warga akhirnya hibrid. Mereka kembali membuat sumur. Sumur era android ini adalah sumur bor dengan pompa air. PAM masih tetap mereka pasang.
Di bidang ketahanan energi, khususnya bab air, penduduk desa yang dulu berdikari sekarang jadi tergantung. Tergantung kepada PAM dan stroom. Di sini, apa yang dinamakan kemajuan itu ternyata merepotkan.
Namun meski demikian, masih beruntung, gaya hidup penduduk desa itu dengan air PAM dan pompa air masih belum digantikan oleh gaya hidup air galon seperti di kota Simbah. Di kota Simbah, PAM dan sumur ada, namun air galon yang dikonsumsi.
Begitulah ker, zaman itu berubah. Dan pemilik modal itu ‘bisa’ mengubah cara hidup Peno. Kebutuhan itu bisa diciptakan. Tadinya Peno tidak butuh, lama-lama bisa dibuat butuh hingga akhirnya menjadi ketergantungan.
Tidak hanya urusan sumur saja lho, urusan kasurpun Peno juga bisa ikut ‘kemauan’ pemilik modal.
Wah seru nih mbah kalau ngomongin kasur? Iya.
Ngomong-ngomong, sampai sekarang Joni masih senang menimba air kalau pulang ke kampung. Bagi dia, nimba air itu tetap something gitu. Selain bisa membangkitkan romantikanya, menimba air juga bisa membuat badannya fit.
Salam fit.
– © DPS
Jakarta, 28/02/2013 06:03