Pembeli Lontong, Membeli karena Kasihan

Date:

melekberita.com – Seorang nenek renta berjualan lontong isi di depan sebuah minimarket Kemayoran, Jakarta, Minggu (28/4/2013) pukul 9:45 WIB. Ia memakai pakaian tradisional, kebaya dan jarik. Satu pertanyaan yang menggelitik saya, di mana keluarganya?

Dari satu pertanyaan itu lalu muncul pertanyaan lainnya. Bagaimana beliau berproduksi, memasarkan produk, siapa customer segmentnya? Bagaimana kualitas produknya, apakah unggul? Subtitusinya ada enggak? Value added seperti apa? Packaging bagaimana?

Melihat usaha yang dijalankan, ilmu manajemen/ekonomi/bisnis modern akan sulit menalar/menilai usaha si mbah ini?

Hampir 40 tahun berjualan, tidak pernah terlintas untuk berjualan lain. Sampai kini usahanya masih eksis. Apakah ini bukan dedikasi/konsistensi/pengabdian pada pekerjaannya? Piye?

Pertanyaan yang menarik adalah apakah usaha si mbah ini profit ker? Jawabannya, kalau si mbah tidak profit, apa mungkin dia bisa usaha selama hampir 40 tahun?

Padahal setiap hari yang dilakukannya nyaris monoton: bangun pagi, bikin lontong lalu memasarkannya keliling. Keesokannya begitu lagi dan seterusnya. Dulu daya jangkaunya masih luas, sekarang beliau sering ngetem, di depan minimarket misalnya.

Si mbah tidak tahu ilmu pemasaran mutakhir ker, beliau, maaf, seperti ayam, bangun lalu keluar kandang mencari ‘makan’/uang.

Oya, harga satu lontong seribu. Pada satu pembeli aku tanyakan kenapa dia beli lontong si mbah itu, apakah enak? Saya kasihan mas jawabnya singkat.

Jawaban ini menarik ker. Rasanya ilmu bisnis terkini sekalipun luput akan hal ini.

Yang sering Peno dengar kan orang membeli itu karena butuh atau ingin. Ternyata ada profil pembeli baru. Yaitu orang membeli karena kasihan. Aku rasa ini level pembeli paling tinggi untuk saat ini.

Mulai saat ini, profil pembeli seperti itu aku namakan pembeli lontong. Pembeli lontong adalah mereka yang membeli karena kasihan, bukan sekedar karena ingin/butuh.

Bayangkan: kenapa peno beli Alphard? Aku kasihan sama yang membuat mobil ini mas, mereka sudah bekerja siang malam, menjadi ‘sekrup’ industri untuk membuat produk ini.

Pembeli lontong tidak hanya melihat kemanfaatan dari suatu produk ker tapi dia think behind the produk.  Entah prosesnya, entah pembuatnya, entah karena apa. Pokoknya ada faktor x nya.

Kapan-kapan hal ini bisa digali lebih dalem, mungkin.

Kembali ke si mbah, akhirnya manusia boleh mendefinisikan/berteori tentang ilmu ekonomi tercanggih sekalipun, seperti : produksi harus begini, produk harus beginu, distribusi begono, revenue dan cost begene dan lain sebagainya.

Tapi tetap saja ada yang Maha Menentukan, Maha Memberi Rezeki ker. Sekian puluh tahun simbah itu tidak menerapkan ilmu ekonomi termaju, beliau tetap masih bertahan. Dan si mbah seperti itu bertebaran di bumi Indonesia ini. Bukan berarti ilmu ekonomi/manajemen/bisnis itu tidak perlu lho ya.

Apakah peno pernah menjadi pembeli lontong ker? Sekian.

(DPS)

Arya Dwi Sasangka
Arya Dwi Sasangkahttps://melekberita.com
Melekberita.com adalah media daring seputar berita. Media yang ringan agar informasi mudah dicerna secara baik dan benar. Sehingga pembaca tercerahkan. Pembaca yang bisa membedakan antara emas dan sampah di tengah gelombang tsunami informasi.

Share post:

Berlangganan

spot_imgspot_img

Popular

Artikel lainnya
Terkait

Apa itu Dopamin: Hormon Kebahagiaan dan Perannya

Apa itu Dopamin? Dopamin adalah salah satu neurotransmitter penting...

Slow Living: Gaya Hidup Lambat yang Membawa Kedamaian

Di tengah hiruk-pikuk dunia modern yang serba cepat, di...

Dongeng dan Fabel

Dongeng dan fabel memang sering dianggap serupa karena keduanya merupakan...

Gejolak Tangis dan Tawa

Gelak tangis dan tawa terkadang membawa kebingungan. Beberapa hari...