Katasimbah.com – Konon, kita adalah masyarakat yang sangat adaptif. Teman memakai BB/Android/iPhone, kita juga ikut memakainya. Kita memakai aneka gadget ter-wah itu alasannya biar gak dilabel gaptek, kuno atau ingin dicap kaya.
Jadi kita memakai atau tidak memakai sesuatu itu ditentukan oleh teman, gengsi, melu-melu. Bukan karena perlu atau butuh.
Di tingkat korporasi ternyata juga serupa. Korporasi berusaha menggunakan sistem ERP (Entreprise Resource Planning) terkini karena korporasi lain sudah memakainya.
Ada semacam kekhawatiran di sini. Korporasi yang tidak memakai sistem terkini akan kalah bersaing dalam bisnis. Akibatnya terjadilah jor-joran dalam penggunaan SAP, BSC, lsp, misalnya.
Perlu peno tahu ker, ada ayat yang mengatakan bahwa sesungguhnya sistem ERP terkini itu akan benar-benar menjadi keunggulan kompetitif sebuah korporasi saat yang memakai sistem itu masih sedikit. Jika yang memakai sistem itu sudah banyak, sistem itu menjadi tidak eksklusif lagi.
Dulu, di era goyang bor (2004), ada penyanyi dangdut yang manajemen artisnya hanya memakai buku tulis saja untuk mencatat jadwal dan keuangan. Sangat sederhana dan tradisional sekali memang. Tapi artis itu uangnya em-em an ker. Di tipi manajernya dengan bangga menceritakan itu semua.
Inilah yang sama orang Barat dinamakan man behind the gun itu. Man adalah faktor kunci. Bahan sama, bumbu sama, resep sama, peralatan sama, koki beda, masakannya akan berbeda.
Di Kemayoran ada warung es campur enak. Yang jualan bapak dan anaknya. Jika yang membuat es adalah anaknya, entah kenapa esnya kok belum bisa selezat buatan bapaknya.
Dalam kacamata Human Capital Management, masih ada gap pada intangible asset pada kasus ini. Knowledge dan skill keduanya belum sama.
Sepertinya anak masih di tahap knowledge membuat es campur. Belum sampai ke tahap skill. Namun seiring jam terbangnya, idealnya skill anak juga akan meningkat.
Jika diperhatikan, ternyata anak belajar membuat es secara otodidak. Dia mengamati langsung saat bapaknya membuat es. Gulanya seberapa, sirup seberapa, buah seberapa, masrah esnya bagaimana, mbungkusnya seperti apa, lsp.
Keikhlasan melayani pembeli yang boleh jadi menentukan kelezatan es adalah hal tidak kasatmata yang sulit dipelajarinya, barangkali.
Dalam proses belajar ini jika bapak tidak mengajarkan rahasia/cara membuat esnya, tidak mementorinya, transformasi bisnis sulit berhasil. Di kemudian hari, hal ini jelas akan merepotkan suksesi kepemimpinan es campur itu. Kelezatan bapak membuat es tidak terwariskan. Warung es campur tersebut bisa kukut.
Korporasi juga mengalami hal seperti di atas ker. Transformasi dan suksesi. Jika kedua hal ini berhasil dilewati, korporasi itu akan mengarungi samudera bisnis dengan selamet. Bahkan layarnya bisa makin berkibar. Tengok Garuda Indonesia, Mandiri, Astra, Jawapos, Garuda Food, lsp.
Kalau dua peritiwa maha penting ini gagal dilalui, korporasi itu bisa karam oleh gelombang transformasi dan suksesi itu. Kalaupun tidak tenggelam, korporasi tersebut akan masuk ke dalam jurang konflik yang sangat dalam.
Kembali ke es, sebagai bibit unggul atau koki yang hebat, bayangkan kalau bapak penjual es itu bekerja di sebuah restoran. Tentu rentan dibajak atau transfer ke restoran lain. Kayak Gareth Bale itu lho.
Untuk memperkecil resiko semacam ini maka dibangunlah sebuah sistem di korporasi itu ker. Sehingga meski faktor man berpengaruh, resikonya bisa diantisipasi. Sistem seperti apa itu, masing-masing korporasi tentu punya caranya sendiri.
Ngomong-ngomong, agar korporasi mendapatkan hasil yang maksimal dari bibit unggul yang telah dimilikinya maka bibit unggul itu harus ditanam di tanah yang subur. Kalau tidak, bibit unggul itu akan lari. Bibit unggul di tanah yang tandus dan gersang bisa mati bukan.
Seperti apakah tanah yang subur itu? Kapan-kapan dibahas ya. Sekian.
(@DPSasongko)