Katasimbah.com – Di dalam sebuah rapat manajemen terjadi perbedaan pendapat yang runcing. Penyebabnya adalah munculnya perdebatan sengit antara dua orang yang cerdas di bidangnya masing-masing. Antara A yang ahli strategi dengan B yang jago eksekusi. A yang ahli teori dan B yang ahli praktik. Perdebatan tentang sebuah produk.
“Produk harus seperti ini. Dari sisi teori, konsep, strategi tidak bisa produk seperti itu.” kata A.
“Bisa. Produk harus seperti ini. Di lapangan produk seperti itu tidak bisa dijual, tidak laku.” kata B.
Di buku “Pembelajaran T. P. Rachmat” ada tulisan yang bagus tentang smart. Seperti dalam kasus di atas, dalam kehidupan sehari-hari, kita memang seringkali membagi kepintaran itu menjadi dua : academic smart dan street smart.
Academic smart adalah orang yang pintar berkat belajar dari buku, konsep dan teori. Street smart adalah orang yang pintar berkat belajar dari pengalaman hidupnya yang kadang keras dan penuh tempaan.
Pembagian seperti ini, disadari atau tidak telah menciptakan sikap dan pola pikir dikotomis.
Orang yang academic smart merasa nyaman dan terlatih belajar lewat bacaan yang penuh teori. Belajar dari buku, jurnal dan aneka tulisan karya orang hebat dan besar. Namun, ia tidak terasah untuk memetik pembelajaran lewat pengalaman hidup. Entah itu pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain.
Orang yang street smart merasa cukup belajar dari pengalaman hidup saja. Baginya pengalaman adalah guru terbaik. Ia kurang nyaman terhadap pengetahuan-pengetahuan teoritis yang ada di buku-buku. Ah teori!
Sikap dan pola pikir dikotomis seperti ini membuat kita sering kali melakukan konfrontasi terhadap dua kutub itu. Pilih A atau B?
Dalam sehari-hari, memang kita sering disodorkan pada pilihan, antara : teori atau praktek, buku atau lapangan, refleksi atau aksi, belajar atau bekerja, latihan atau bertanding.
Para pakar menyebut sikap dikotomis seperti ini sebagai pola pikir yang disandera oleh tirani “ATAU” (the tyranny of the OR).
Apa itu? Yaitu orang yg berpikir dengan cara mengonfrontasikan dan memilih satu sama lain tanpa memikirkan kemungkinan opsi ketiga.
“The test of a first-rate intelligence is the ability to hold two opposite ideas in mind at the same time, and still retain the ability to function.” diriwayatkan oleh F. Scott Fitzgerald, penulis besar USA.
Dari ayat di atas, para genius didefinisikan sebagai orang yang sanggup merengkuh secara harmonis hal-hal yang dianggap kontradiktif oleh kebanyakan orang. Mereka mampu melepaskan diri dari tirani “ATAU”. Mereka membangun paradigma baru, paradigma “DAN” (the genius of the AND).
The Genius of the AND
Kembali ke laptop, yuk kita renungkan, bukankah teori yang baik itu dibangun di atas praktik yang sudah mapan? Pun sebaliknya, bukankah praktik yang efektif itu dilakukan di atas landasan teori yang sudah teruji?
Bukankah buku yang sahih itu ditulis berdasarkan pengalaman nyata sesungguhnya di lapangan. Juga pengalaman nyata jadi semakin kaya dan lengkap jika sebelumnya dibekali dengan informasi dan pengetahuan yang ada di dalam sebuah buku.
Bukankah belajar menjadi modal penting untuk bekerja secara lebih efektif. Sebaliknya, bekerja juga menjadi sumber pembelajaran yang dahsyat.
Ker, gagasan-gagasan besar acapkali lahir dari pola pikir integratif. Pola pikir yang mempertemukan dua hal yang seolah-olah berbeda.
Contohnya : konsep blue ocean strategy yang digagas oleh W. Chan Kim dan R. Mauborgne. Konsep yang sekarang menjadi bahan kajian dimana-mana itu.
Banyak orang berpikir dengan kerangka “ada uang, ada kualitas”. Artinya peningkatan mutu (value) produk sekaligus peningkatan biaya (cost).
Dalam kerangka berpikir seperti ini, value dianggap sebagai sesuatu yang berseberangan dengan cost. Sehingga pilihannya adalah value atau cost.
Di dalam konsep blue ocean strategy, kedua kutub tersebut disandingkan. Sehingga lahirlah apa yang disebut value innovation.
Value innovation mengubah cara pandang kita. Ia mengajak orang berpikir dengan kerangka ‘dan’ bukan ‘atau’ lagi.
Dalam contoh kasus ini, poinnya adalah gagasan strategis harus mampu menghasilkan peningkatan value produk dan sekaligus menurunkan cost produksinya.
Konsep ini (blue ocean strategy) menjadi inspirasi perusahaan sekelas Samsung, Toyota untuk memenangkan kompetisi dengan mengadopsi strategi value innovation. Dan mereka sukses.
Pembelajaran
“Ada tiga proses pembelajaran yang ditempuh manusia, yaitu : intelligence, experience, experimentation.” diriwayatkan oleh David A. Garvin dari Harvard.
Pembelajaran intelligence adalah belajar lewat akumulasi informasi dan pengetahuan yang dapat memperkaya wawasan dan pemahaman orang akan sesuatu.
Pembelajaran experience adalah belajar dengan mengalami langsung suatu peristiwa sehingga keterampilan lebih terasah dan penghayatan jadi lebih nyata.
Pembelajaran experimentation adalah belajar dengan cara ujicoba semua pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki dalam setting kenyataan yang sesungguhnya.
Selain tiga hal di atas, secara kejiwaan manusia juga mempunyai tiga aspek pembelajaran, yaitu: kognitif (pengetahuan), afektif (perasaan) dan psikomotorik (perilaku).
Penerapan tiga aspek ini, dalam kehidupan sehari-hari dapat kita lihat pada orang yang belajar ‘berenang’. Orang itu harus menguasai teori renang yang baik, merasakan suasana kolam renangnya, dan harus berani terjun langsung ke dalam air.
Akhirnya, pembelajar sejati tak akan memisahkan antara academic smart atau street smart ker. Karena smart is just smart. Tamat.
(@DPSasongko)