Katasimbah.com – Sering aku saksikan manusia di bumi Nusantara ini bekerja keras. Mereka peras keringat, banting tulang, kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, supaya kehidupannya jadi lebih baik. Ada pedagang kaki lima, tukang gorengan, tukang sayur, tukang galian, sopir bajaj dan lainnya.
Setiap hari, mereka tak lelah mengerjakan pekerjaan yang rasanya cuma itu-itu saja. Bahkan tak jarang mereka bekerja tak kenal waktu. Nyaris 24 jam, tujuh hari.
Januari 2014, hujan turun membasahi tanah Kemayoran, Jakarta. Jam tangan menunjuk pukul delapan lewat seperempat. Dalam gelap malam, aku saksikan orang-orang bertenaga baja menggali tanah. Cangkul dan ganconya terus bekerja menembus aspal, terkadang menghantam batu. Hasilnya adalah kubangan-kubangan sedalam sekitar dua meter.
Dari atas jalan raya, kepala mereka sudah tidak terlihat. Mereka seperti tersedot ke dalam lubang-lubang yang telah dibuatnya sendiri.
Lalu, pipa-pipa panjang dirangkai. Mereka memasukkan pipa itu ke dalam lubang galian tersebut hingga membentuk sebuah jaringan.
Di tengah hawa dingin yang menusuk tulang, para penggali itu mandi lumpur. Wajah mereka belepotan. Badannya penuh tanah liat dan bau got. Sesekali bibir mereka bergetar, menggigil.
Di waktu seperti ini, betapa enaknya bermalas-malasan di rumah. Bermain bersama keluarga, menonton tv sambil minum kopi hangat dan camilan adalah kegiatan yang sangat nyaman.
Namun mereka memilih jalan lain. Mereka memilih bekerja keras melubangi jalan di bawah guyuran hujan. Saat fajar menyingsing, apa yang mereka kerjakan malam ini akan dianggap mengganggu kepentingan khalayak.
Sampai di sini, peno harus tahu ker, setiap tetes air kran dirumahmu, jasa mereka itu sungguh besar.
Melihat pemandangan seperti itu, pikiranku berkecamuk. Apa mereka tidak masuk angin? Gaji mereka berapa? Kalau istrinya melihat mereka sedang bekerja begini, apa kolu (tega) makan uang gajinya?
Buat para calon istri dan istri, begitulah terkadang suami (lelaki) itu bekerja untuk keluarganya. Tidak hanya keringat, nyawapun mereka pertaruhkan untuk menafkahi keluarga! Agar anaknya bisa makan daging, punya baju baru dan sekolah yang tinggi.
Masih Ada Langit
Tiba-tiba aku teringat diskusi teman-temanku, tentang bekerja keras dan cerdas. Katanya orang-orang itu bekerja keras saja namun tidak cerdas. Sehingga hidupnya ya begitu-begitu saja. Tidak bisa beli rumah, mobil, apalagi keliling dunia.
Membayangkan itu, dadaku rasanya sesak. Aku atur nafas baik-baik. Oh, ternyata alangkah gampangnya menilai hidup orang lain itu.
Tiba-tiba aku perhatikan kehidupan kawan-kawanku yang menganut teori kerja cerdas itu. Yang mau menempuh jarak puluhan kilometer setiap hari, rela berangkat pagi pulang petang, ternyata kehidupannya juga begitu-begitu saja. Apa yang mereka lakukan setiap hari nyaris itu-itu saja.
Meski bisa beli rumah, mobil dan sesekali keluar negeri, namun setiap hari mereka mengeluh tentang kereta, mengomel tentang kemacetan, banjir, layanan publik, hidup yang seperti mesin, gaji kurang, dan lain sebagainya.
Orang kaya yang uangnya tidak berseri di atas sana pasti heran dengan kawanku itu. Kok bisa menjalani hari seperti itu. Apa tidak tua di jalan. Katanya, jelas kawanku itu hanya bekerja keras tapi tidak cerdas. Kalau uang saja bisa bekerja untuk kita, kenapa kita mesti bekerja untuk uang.
Ker, begitulah hidup dan kehidupan ini. Di atas langit masih ada langit. Boleh jadi kita sering kasihan melihat hidup orang lain. Padahal, mungkin orang lain juga sering kasihan melihat hidup kita.
Salam langit.
(@DPSasongko)
Kemayoran, 27/02/2014 22:15.
Terima kasih untuk para penggali PAM di seluruh Indonesia.