meleberita.com – Jumat, 11/1/2013, di perempatan Slipi, Jakarta, saya melihat stiker di sebuah sepeda motor. Tulisannya menggelikan, menghibur dan full of creativity.
Tulisan di stiker tersebut, yaitu :
- Bila pengemudi ini ugal-ugalan, silahkan laporkan sama istrinya atau selingkuhannya, hubungi 08XXXXXXXXXX.
- Antar kota, antar propinsi, antar sampai rumah.
- Kutunggu kau di lantai 2.
Jika melihat dari penampilan dan tongkrongannya, pemilik motor tersebut adalah kelompok marginal. Orang yang secara piramida ekonomi ada di bagian bawah.
Kelompok marginal kerap dilabeli sebagai biang keonaran, korak (kotoran rakyat), anti kemapanan dan aneka label miring lainnya oleh masyarakat.
Ketiga tulisan di atas membuat saya senyum takjub saat membacanya.
Pesan apa yang ingin disampaikan oleh pemiliknya? Seperti apa kepribadian pengemudi itu? Apakah dia tipe orang yang mendua dalam soal cinta? Apakah ia sebagai kurir? Bagaimana bentuk kantornya: tingkat dua, tiga atau tiga puluh?
Itulah beberapa pertanyaan yang spontan melintas di dalam kepala saya.
Satu stiker bisa merangsang banyak pertanyaan. Luar biasa.
Bagaimana menurutmu?
Kehidupan Sastra
Saya percaya bahwa sastra itu hidup di semua lapisan golongan. Ia tidak hanya hidup di golongan orang kaya, pandai, terdidik dan sejenisnya. Sastra juga hidup di arus bawah. Sastra hidup di akar rumput, kelompok marjinal dan sejenisnya.
Sastra adalah hak semua orang. Bukan milik kaum elit saja.
Sastra menurut wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra) : Sastra (Sanskerta: शास्त्र, shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar śās- yang berarti “instruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.
Sastra menurut KBBI (http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php) : sas·tra n 1 bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yg dipakai dl kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari); 2 kesusastraan; 3 kitab suci Hindu; kitab ilmu pengetahuan; 4 kitab; pustaka; primbon (berisi ramalan, hitungan, dsb); 5 tulisan; huruf.
Coba Anda perhatikan pesan-pesan pada bak truk, metromini, angkot, odong-odong, gerobak dan aneka wahana yang dikendalikan oleh kaum bawah. Karya mereka liar, nakal, menghibur, unik dan bisa dinikmati.
Karya mereka seperti buku. Pesannya mudah dibaca. Ada energi, ideologi, pikiran, budaya, dogma atau entah apa namanya yang hidup pada karya-karya itu.
Pemilik modal tahu dan menangkap peluang ini. Mereka membuat produk dari apa yang hidup itu. Salah satunya, stiker di sepeda motor itu.
Begitulah bisnis itu bekerja. Sejatinya ia sederhana. Ada permintaan, ada persediaan. Kemudian mereka bertemu di dalam pasar.
Pasar
Bicara mengenai pasar, ada dua kelompok besar pemikiran.
Yang pertama adalah kelompok yang percaya dengan mekanisme pasar. Pasar akan mencapai keseimbangannya sendiri. Ada tangan tak terlihat yang mengaturnya. Pemerintah jangan turut campur urusan pasar.
Yang kedua adalah kelompok yang percaya bahwa mekanisme pasar itu tidak ada. Pasar tidak akan seimbang dengan sendirinya. Oleh karena itu diperlukan tangan yang terlihat untuk mengaturnya. Pemerintah harus turut campur mengurus pasar.
Dari dua pemikiran itu, kemudian mahzab ekonomi berkembang sedemikian rupa. Muncul kelompok ketiga. Yaitu kelompok 50:50. Kelompok ini percaya bahwa pemerintah harus ikut mengurus pasar. Tapi jangan 100%. Cukup 50% saja.
Anda ikut kelompok yang mana?
Kembali ke laptop.
Begitulah hebatnya sebuah stiker. Ia ternyata bisa merangsang ide hingga saya nglantur membahas sastra dan pasar begini.
Sebelum Anda bingung lebih dalam, saya akhiri sampai di sini saja.
Salam di sini saja.
Pondok Labu, Jakarta, 29/05/2022 14:36
*artikel ini edisi revisi, artikel pertama terbit 14/01/2013 3:42